“Rini! Lekaskanlah jalanmu. Sebentar lagi hujan. Kita berteduh di bawah bangunan mirip halte itu saja.” Ucap Amir.
Rini tidak mengindahkan panggilan Amir. Ia malah berjalan berputar putar menikmati air yang satu persatu menjatuhkan diri dari awan.
“Amir! Kemari! Kau harus mensyukuri ini semua.” Teriak Rini.
“Kau bercanda! Kita sedang di taman hiburan, seharusnya pulang membawa senang, bukan membawa sakit. Lekas kemari! Jangan hujan hujanan seperti itu.”
“Kau ini bagaimana, Mir.” Jawab Rini seraya berjalan mendekati Amir yang sudah sampai di bawah bangunan mirip halte.
“Aku kan cuma hujan hujanan. Apa pula yang bikin sakit? Air hujan cuma air, kita mandi pakai air, bahkan dua kali sehari, ini aku hujan hujanan baru sekali, masa iya akan jatuh sakit?”
“Kau sedang lelah, Rin! Hari ini kita mengitari taman hiburan. Berjalan kaki pula.” Bantah Amir.
“Setiap hari aku berjalan kaki ketika pulang sekolah, dalam terik, denganmu pula kan? Lalu apa sampai di rumah Ibumu tak menyuruhmu segera mandi? Lagi lagi kau aneh, Mir!”
“Rin, air hujan dan air di kamar mandi itu beda!”
“Di mana bedanya? Coba jelaskan padaku.”
“Halah, sudahlah!” Jawab Amir ketus sambil mendiamkan diri.
“Mir, kawan karibku, air hujan dan air kamar mandi sama sama air dari Tuhan bukan? Mandi air kamar mandi adalah ujud mensyukuri nikmat dariNya, kita berusaha memelihara kebersihan badan, pun sama dengan hujan hujanan. Betulkan? Manusia jaman kita lebih sering memelihara percuma, Mir.”
“Maksudmu?”
“Tuhan mencipta hujan, manusia mencipta payung dan jas. Tuhan mencipta matahari, perempuan perempuan memakai sunblock. Tuhan mencipta malam, manusia mencipta lampu. Tuhan mencipta aku, engkau mencipta kebencian. Hehehe..” Ucap Rini sambil menggoda Amir.
Amir menarik napas panjang.
Bersambung.