Oleh: Nurul Widianto dan Rodiyyatun Rukmini
Pada seketika malam, terlihat Pak Tua sedang membalut pori-porinya dengan kain kusut berwarna putih kekuningan sembari memijat mijat kedua kakinya yang seharian berdiri memilah milah rerecehan demi menebus beras berkutu di warung sebelah. Di seketika malam itu pula kening pak tua terlipat sampai garis kening bahkan kenang masuk kedalam kepala.
Tak ujung jua pikiran yang sedang ia kelanakan, bibirnya yang jadi bisu, malamnya yang jadi diam, alamat mana yang sebetulnya sedang dituju pikirannya.
“Kau hanya lelah bukan, Pak Tua?” Begitu tembok menebak.
Tetapi ia tak nampak seperti biasanya, dulu ketika ia bekerja di kedai kanak kanak, ia terlihat selalu ceria sekalipun ia lelah sampai sore. Mengantar roti, menjemput tamu, sampai tak lupa menyempat diri untuk bermain badminton. Jadi dirasa tebakan tembok itu salah adanya.
“Sok tau.” Kata Pak Tua kepada tembok.
Pak Tua melanjutkan lamunannya, sesekali iya menoleh celingak-celinguk kebingungan, tak lama Pak Tua bertopang dagu dan mengarahkan pandang seperti sedang menunggu sesuatu.
“Jadi sebetulnya apa yang sedang kau tunggu, Pak Tua.” Tanya Tembok.
“Aku sedang menunggu Angin beserta kirimannya.”
Tembok kembali diam. Ia semakin bingung dengan tingkah Pak Tua.
Berselang waktu, saat kaki Pak Tua lelah bersila, Angin datang tergesa-gesa menghampiri Pak Tua. Rona wajah Pak Tua seketika berubah merah muda dibumbui kecewa.
“Kau datang terlambat dari biasanya angin, tidak lupakah engkau membawa raut wajah yang kupesan?” Ucap Pak Tua.
“Aku baru saja hampir menolak membawa titipanmu itu Pak Tua. Sebab raut wajah yang kau pesan begitu membebani bagasi kendaraanku. Raut wajah yang kau pesan itu dipenuhi rindu. Itu sebabnya aku berpikir seribu kali untuk setuju mengantarkannya padamu Pak Tua.” Jawab Angin.
“Lalu mengapa kau memutuskan untuk mau mengantarkannya padaku, Angin?”
“Sebab raut wajah itu berubah sendu ketika aku enggan mengantarkannya. Ia makin pucat dan hampir pudar warnanya. Jadilah aku takut ia mati. Makanya selekas mungkin aku menuju kemari Pak Tua.”
Pak Tua makin lesu mendengar jawaban Angin, bahwa raut wajah yang menjadi titipannya telah berubah sendu.
“Maka lemparkan saja itu ke parit-parit. Aku takkan kuasa menyambut raut wajah yang telah jadi sendu!” Ucap Pak Tua marah.
“Tapi Pak Tua…”
Dengan gerak secepat mungkin Angin meninggalkan Pak Tua beserta titipan raut wajah yang terlempar ke parit-parit.
Tembok jadi angkat bicara.
“Pak Tua, kalaulah marah tak sampai begitu. Bukankah lamunanmu itu hanya demi menunggu titipan raut wajah yang sekarang kau sia siakan di parit parit itu? Aku yang bodoh atau kau yang dungu?”
“Tak seharusnya tembok banyak bicara! Aku sudah terlampau kecewa dengan Angin, sebab kuyakin titipan raut wajahku takkan berubah sendu apabila tak diantarkan terlambat, betul jika wujudnya menjadi berat dan menyusahkan Angin untuk mengantarnya, tapi setumpuk rindu itu adalah aku pembuatnya, aku yang menyebabkan ia jadi penuh rindu sebab aku telah lama meninggalkan kedai kanak-kanak. Dulu kami senda gurau bersama, hampir masa kami dihabiskan berdua. Sampai aku meninggalkan, sampai aku harus meninggalkan. Oh, semua jadi salahku.”
Tembok tak memunculkan jawab. Pak Tua rebah dalam tanya sebab.
Selesai
Antara Purwokerto dan Sukabumi
(dalam pesan singkat)