Kepada : Nay.

Apa kabar hari ini?

Semoga harimu selalu dalam kebaikan. Masihkah mengenaliku? Aku yang dulu banyak bercerita tentang kekhawatiran. Kepadamu aku menyebut sebagai dokter pikiran, yang selalu tau diagnosa otakku sebelum aku mulai bercerita.

Malam ini aku benar benar sedang ingat tentangmu, tentang obrolan malam terakhir kita di Kopi Aceh. Aku yang masih dalam kekhawatiran, dua tahun silam.

Tahukah? Tidak ada yang berubah sedikitpun dari itu. Aku hanya beralih dari masa di mana aku takut menjalankan kekhawatiran, kemudian memberanikan diri hidup di dalamnya, sebab itu di titik ini, detik ini, aku benar benar memerankan kekhawatiran itu. Bagaimana ini, Nay?

Barangkali ketika itu kau masih memberi saran untuk tidak terus berjalan, saran yang seharusnya kuturuti. Nyatanya aku betul betul mengikuti rasa keingintahuanku. Aku mencoba membuat apa yang kau pikir menakutkan, menjadi apa yang kau pikir akan baik baik saja. Aku banyak meyakinkanmu ketika itu.

Dan aku, salah besar.

Pertemuan kemarin, kupikir kau akan banyak bertanya padaku. Sudahkah menyesal dengan pengambilan keputusanmu, Mbak?
Sebab di pikiranku, sudah kusiapkan seribu jawaban yang membuatku malu sendiri. Dua tahun aku dibayang bayangi kesalahanku sendiri, melanjutkan perjalanan yang parah.

Bagaimana ini, Nay?

Katamu lusa masih mungkin kita bertemu. Kurasa kita harus berkenalan ulang. Supaya aku leluasa mengulang cerita yang kuulang ulang. Supaya kau tak bosan mengulang saran. Supaya kita baik baik dalam lama percakapan.

Salam.

Satu Minggu Sepeninggal Bapak

Rasanya baru kemarin kau mengajariku bermimpi tinggi tinggi, agar tidak takut jatuh, buatlah sayap di punggung kanan kiri. “Satu satunya hal yang bisa merubah nasibmu adalah pendidikan, setinggi apapun status sosial kita di masyarakat, akan tetap lebih dijunjung tinggi mereka yang punya pendidikan. Jadi Nak, sepahit apapun jalanmu, tetaplah bersekolah sampai perguruan tinggi.” begitu katamu.

2017 aku sudah menyelesaikan mimpi itu Pak, dengan jerit tangisku sendiri, jauh dari Bapak, lupa menengok sakitmu, lupa menyapamu sesering mungkin di telepon.

2018 aku memulai mimpi baru Pak, sebuah pernikahan yang tidak bisa kau hadiri karena sakitmu.

2019 aku dikaruniai sebuah mimpi yang panjang Pak, seorang anak laki laki cerdas sepertimu, yang tak sempat kau peluk dan hapalkan namanya.

Al – Fatihah

Kabar Kesepian

Kemarin aku masih dalam manguku sendiri
Abai demi abai kulalui seperti tak akan pernah kudapati esok
Bertekuk lutut, berpaut tengkuk
Aku menyanyi mengabarkan obituariku
Rintih dalam amarah tak berbunyi, luruh air mata dalam cerita tak bersuara

Kemudian, seorang anak datang membawa tangis
Eleginya mengobati luka, bersaut di setiap sepertiga malam, menambal satu per satu lubang kesepian
Sampai pula aku di titik ini, di mana kata kata akan menjadi masa depan, tingkah laku akan menjadi guru
Entah siapa mengajari siapa, yang pasti aku belajar banyak dari ini
Piaraku akan kulakukan padanya
Indah dalam batin yang saling mengeja
Anakku, Dipayasa.

Mimpi

Kamis pagi aku terbangun dari tidur yang betul betul berkepanjangan. Kudapati diriku lusuh dalam balut selimut seadanya, anakku masih

“Bangun, waktu bermimpimu sudah habis!” katanya.
.
Aku membatin, sedalam apakah aku bermimpi tadi.
.
“Hei pagi, kurasa tidurku baru beberapa menit, mimpi mimpiku juga masih jauh dari ujud, aku baru sampai di penjajakan mimpi ketiga, yakni membuatkan Ayah Ibuku sebuah ayunan. Baru kupotong bilahnya, kau sudah memintaku bangun. Apa apaan!”
.
“Salahmu sendiri, kau menaiki anak tangga terlalu lama. Lena dalam setiap pijakannya. Apa perlu di setiap tanjakan kau menikmati pemandangan berlama lama? Tanggamu masih jauh, harusnya kau bisa bergesa sedikit.” Jawabnya.
.
“Nyatanya pemandangan hidup di setiap anak tangga itu sangat indah, selalu bikin lena, mana bisa aku asal lewat?”
.
Pagi diam saja tak menjawab meski hanya sepatah kata.
.
Sadarku kemudian, aku memang terlalu lamban, kurasa terlalu lama dalam setiap pijakan, membuat semua mimpi mimpiku kemudian putus begitu saja. Baru sampai membayangkan senyum Ayah Ibu, aku sudah dibangunkan.
.
“Jadi, bolehkah aku tidur lagi? Bisakah aku menjadi mimpi yang tak bangun bangun?” pintaku mengakhiri.

Banyumas, 08 Agustus 2019

Aku Mencarimu

Aku mencarimu di ujung halusinasi

Berharap Engkau masih ada bahkan di batas ketidakwarasan

Aku mencarimu di bising pertemuan hujan dan beranda

Berharap Engkau bisa kudapati di setiap selanya

Jalan-jalan yang kulewati kini berbeda

Tidak ada Engkau di setiap markanya

Atau bahkan wangi tengkuk yang sering kupeluk

Aku juga mencarimu di ramai kesibukan

Berharap Engkau seketika datang untuk sekedar memeluk aku yang kelelahan

 

Purbalingga, 17 Februari 2018

Dalam istirahat.

Langit

Langit belakangan seriak dengan obituari. Ia banyak mendung dan menyimpan sedih di dalam hujan. Wajahnya digambar lewat rupa rupa awan kelabu yang berjejeran. Ketika lelah menanggung beban, maka tumpahlah menjadi rintik sampai ke tanah jauhnya. Aku yakin ia sedang tidak baik baik saja. Atau barangkali dukanya diam diam ia simpan dan semayamkan pada bulan bulan ini. Agar pada bulan bulan berikutnya ia bisa bersinar dalam kemarau panjang. Ah, penciptanya begitu agung. Menjadikannya menangis sampai kering air matanya. Menjanjikannya rupa rupa ceria setelahnya. Kemarin ketika aku berkunjung di balkon kamar, kutatap dalam dalam wajah pasinya. Ia menyunggingkan senyum sedikit, dikatakannya bahwa ia baik baik saja. Hanya agak sedikit berat membawa hujan kemana mana dan harus menunggu sore untuk ditumpahkan.

Andai jadi engkau, barangkali aku sudah gantung diri.

Tembok, Angin dan Pak Tua

cerpen
Oleh: Nurul Widianto dan Rodiyyatun Rukmini
Pada seketika malam, terlihat Pak Tua sedang membalut pori-porinya dengan kain kusut berwarna putih kekuningan sembari memijat mijat kedua kakinya yang seharian berdiri memilah milah rerecehan demi menebus beras berkutu di warung sebelah. Di seketika malam itu pula kening pak tua terlipat sampai garis kening bahkan kenang masuk kedalam kepala.
Tak ujung jua pikiran yang sedang ia kelanakan, bibirnya yang jadi bisu, malamnya yang jadi diam, alamat mana yang sebetulnya sedang dituju pikirannya.
“Kau hanya lelah bukan, Pak Tua?” Begitu tembok menebak.
Tetapi ia tak nampak seperti biasanya, dulu ketika ia bekerja di kedai kanak kanak, ia terlihat selalu ceria sekalipun ia lelah sampai sore. Mengantar roti, menjemput tamu, sampai tak lupa menyempat diri untuk bermain badminton. Jadi dirasa tebakan tembok itu salah adanya.
“Sok tau.” Kata Pak Tua kepada tembok.
Pak Tua melanjutkan lamunannya, sesekali iya menoleh celingak-celinguk kebingungan,  tak lama Pak Tua bertopang dagu dan mengarahkan pandang seperti sedang menunggu sesuatu.
“Jadi sebetulnya apa yang sedang kau tunggu, Pak Tua.” Tanya Tembok.
“Aku sedang menunggu Angin beserta kirimannya.”
Tembok kembali diam. Ia semakin bingung dengan tingkah Pak Tua.
Berselang waktu, saat kaki Pak Tua lelah bersila, Angin datang tergesa-gesa menghampiri Pak Tua. Rona wajah Pak Tua seketika berubah merah muda dibumbui kecewa.
“Kau datang terlambat dari biasanya angin, tidak lupakah engkau membawa raut wajah yang kupesan?” Ucap Pak Tua.
“Aku baru saja hampir menolak membawa titipanmu itu Pak Tua. Sebab raut wajah yang kau pesan begitu membebani bagasi kendaraanku. Raut wajah yang kau pesan itu dipenuhi rindu. Itu sebabnya aku berpikir seribu kali untuk setuju mengantarkannya padamu Pak Tua.” Jawab Angin.
“Lalu mengapa kau memutuskan untuk mau mengantarkannya padaku, Angin?”
“Sebab raut wajah itu berubah sendu ketika aku enggan mengantarkannya. Ia makin pucat dan hampir pudar warnanya. Jadilah aku takut ia mati. Makanya selekas mungkin aku menuju kemari Pak Tua.”
Pak Tua makin lesu mendengar jawaban  Angin, bahwa raut wajah yang menjadi titipannya telah berubah sendu.
“Maka lemparkan saja itu ke parit-parit. Aku takkan kuasa menyambut raut wajah yang telah jadi sendu!” Ucap Pak Tua marah.
“Tapi Pak Tua…”
Dengan gerak secepat mungkin Angin meninggalkan Pak Tua beserta titipan raut wajah yang terlempar ke parit-parit.
Tembok jadi angkat bicara.
“Pak Tua, kalaulah marah tak sampai begitu. Bukankah lamunanmu itu hanya demi menunggu titipan raut wajah yang sekarang kau sia siakan di parit parit itu? Aku yang bodoh atau kau yang dungu?”
“Tak seharusnya tembok banyak bicara! Aku sudah terlampau kecewa dengan Angin, sebab kuyakin titipan raut wajahku takkan berubah sendu apabila tak diantarkan terlambat, betul jika wujudnya menjadi berat dan menyusahkan Angin untuk mengantarnya, tapi setumpuk rindu itu adalah aku pembuatnya, aku yang menyebabkan ia jadi penuh rindu sebab aku telah lama meninggalkan kedai kanak-kanak. Dulu kami senda gurau bersama, hampir masa kami dihabiskan berdua. Sampai aku meninggalkan, sampai aku harus meninggalkan. Oh, semua jadi salahku.”
Tembok tak memunculkan jawab. Pak Tua rebah dalam tanya sebab.
Selesai
Antara Purwokerto dan Sukabumi
(dalam pesan singkat)